Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Kamis, 12 Januari 2012

Kamis, 12 Januari 2012

ZAKAT UNTUK PENDIDIKAN

Menemukan kaitan antara zakat dan pendidikan dalam satu teks Alquran maupun sunah rasanya tidak mungkin. Tetapi yang demikian bukan berarti putus kaitan, sebab memang adanya keterkaitan tidak mengharuskan berada dalam satu teks, dan bahkan dalam teks walaupun berbeda.
Menemukan kaitan antara zakat dan pendidikan dalam satu teks Alquran maupun sunah rasanya tidak mungkin. Tetapi yang demikian bukan berarti putus kaitan, sebab memang adanya keterkaitan tidak mengharuskan berada dalam satu teks, dan bahkan dalam teks walaupun berbeda.
Definitifisasi zakat sebagai kewajiban, lengkap dengan penjelasan pihak yang berkewajiban, dari jenis harta mana zakat diwajibkan, serta kepada siapa zakat harus dibagikan adalah item-item bahasan zakat yang dalam garis besarnya tertera dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Namun bahasan tersebut selain item pertama adalah bahasan yang potensial untuk berkembang dan realitasnya pun membuktikan demikian. Maka dari itu, munculnya sumber zakat baru seperti gaji, hasil peternakan, perikanan, dan sebagainya tidak mengherankan. Begitu pula sektor baru dalam distribusi zakat, walaupun harus merujuk kepada salah satu dari delapan ashnaf yang disebut Alquran. Di antara sektor-sektor baru dalam distribusi zakat tersebut adalah pendidikan.
Siapa pun maklum bahwa pendidikan adalah kebutuhan yang amat primer bagi setiap individu. Efek pendidikan begitu menyeluruh, mulai dari pola pikir, keyakinan, dan sikap hidup yang berujung pada kualitas hidup. Singkatnya performance dzahir dan batin manusia sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang didapatnya.
“Kalau ada rizki ya dinikmati, kalau belum ada ya disabari”, “ojo ngoyo” (jangan berusaha terlalu keras) adalah sebagian pola pikir negatif yang menyatu dalam sikap hidup manusia akibat kurang pendidikan. Pola pikir sederhana telah mencetak generasi miskin akibat pikiran fatalistis yang berbuah mental malas.
Hingga pada masalah keimanan seseorang juga ditentukan oleh pendidikan. Untuk ini Rasulullah bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam kondisi fitrah, hingga lisannya mampu mengungkapkannya, maka ibu dan bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani  atau Majusi” (HR. Ahmad, al-Nasa’i dan Ibn Hibban).
Sebegitu pentingnya  pendidikan bagi manusia, pada awalnya, baik pendidikan pada tingkat keluarga maupun di luar keluarga, dapat diakses dengan gratis. Barulah setelah pendidikan utamanya di luar keluarga mengalami perkembangan pesat dalam bentuk pelaksanaannya, menjadi kebutuhan primer yang berbiaya. Akibatnya, sebagian orang mampu mengakses dengan baik, tetapi sebagian lain kebutuhan primernya itu tak terpenuhi.
Harta zakat sebagai alat bantu pengentasan masalah sosial, telah ditetapkan untuk didistribusikan kepada delapan asnaf yang di antaranya adalah fakir dan miskin, yaitu dua kelompok manusia yang berciri khusus tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, baik sebagai makhluk hidup yang berarti perlu pangan dan kesehatan, sebagai makhluk sosial butuh sandang, papan, dan pasangan (zawj/zawjah), serta sebagai khalifah Allah yang harus bermodal pendidikan. Atas dasar itu penyaluran dana zakat dalam sektor pendidikan adalah sangat beralasan secara syar’i.
Secara rinci alasan tersebut dapat disusun sebagai berikut. Pertama, pendidikan adalah termasuk kebutuhan primer, maka dari itu pihak yang lemah ekonomi sehingga terhalang dari memenuhi kebutuhan pendidikan adalah termasuk fakir yang berhak atas dana zakat.
Kedua, bila demi kebutuhan fisik guna keberlangsungan hidup layak dalam kehidupan duniawi sesaat berupa pangan, sandang, dan papan saja zakat dapat diberikan, apalagi –secara qiyas awlawi- terkait dengan pendidikan yang membawa kepada keselamatan ukrawi yang tiada batasnya, maka lebih layak disalurkan.
Ketiga, secara manusiawi akar masalah kemiskinan adalah pada minimnya pendidikan, sehingga seseorang tidak mampu mengetahui potensi dirinya, mengembangkannya, dan apalagi memanfaatkannya. Begitu pula, akibat minimnya pendidikan ia juga tidak mampu mengeksplorasi potensi lingkungannya, tetumbuhan, hewan, tanah, air, dan kekayaan yang dikandungnya.
Memang perlu ditegaskan bahwa maksud dari pengalokasian zakat dalam sektor pendidikan, penggunaannya dalam bentuk, pertama, membiayai orang miskin untuk mendapat pendidikan,  misalnya menyantuninya untuk membayar biaya  sekolah. Pada masa dahulu ulama telah perhatian dalam hal ini walaupun dalam bentuk sedikit berbeda. Mereka mengatakan bahwa bila orang miskin gara-gara tidak dapat bekerja karena sibuk mendalami ilmu syariat, maka halal baginya menerima dana zakat. Menurut mereka alasannya adalah karena mereka sibuk melakukan sesuatu yang bersifat fardhu kifayah yang manfaatnya bersifat umum bagi masyarakat luas. (al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz: VI/177)
Kedua, mendirikan sekolah dan memenuhi kebutuhan operasinalnya, dalam rangka membendung dan melawan hegemoni pendidikan kapitalis, komunis, sekuler, dan sebagainya menuju kepada pendidikan Islam yang murni. (Al-Qardhawi, Hukum Zakat, 635). Yang demikian berarti zakat tersebut dialokasikan atas nama sabilillah. (*)
Sumber: www.bmh.or.id/Thursday, 30 April 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates