Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Rabu, 25 Januari 2012

Rabu, 25 Januari 2012

Menikmati Kesenjangan 20%

Tiap kali akhir bulan datang, wajah para PNS berseri - seri dengan akan diterimanya gaji yang jumlahnya tidak sedikit dan lebih dari kebutuhan sehari - hari. para oknum PNS menghitung - hitung untuk apa lagi gaji sebanyak ini…apa lagi ditambah dengan uang sertifikasi dan tunjangan yang pasti datang tiap bulannya. di sisi lain senyum lesu guru honorer berharap gaji bulan lalu masih cukup untuk mengharumkan dapur mereka dengan bumbu - bumbu rempah yang hampir habis bulan ini. gaji mereka baru bulan depan bisa diambil, tiga bulan sekali mereka mendapatkan gaji mereka. sedangkan mereka takut untuk sekedar pinjam uang kepada bendahara sekolah yang membawa serta gajinya tiap harinya, karena mereka takut tidak bisa melunasinya kembali. tidak lebih dari 600 ribu rupiah dan tanpa tunjangan apapun membuat para guru honorer menjadi pahlawan tanpa tanda jasa saat ini. dan seorang pahlawan harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dari uang yang tidak lebih dari 600 ribu rupiah itu. diwajahnya tetap terukir senyum dan bersemangat dikala mereka mendapatkan jatah mengajar lebih dari 28 jam per minggu dikala para pegawai negara mengeluh dengan tugas yang hanya 24 jam saja.
20 % APBN seakan tidak menyentuh para pahlawan itu sama sekali. kepercayaannya seakan dihempaskan habis habisan oleh kepentingan para pemangku jabatan saja. para pahalawan yang pengetahuannya 20 tahun lebih maju dari pada umurnya dibatasi dengan kata - kata yang sering didengarkannya,”siapa kamu? yang memasukkan kamu disini adalah AKU…. dan AKU adalah pemimpin kamu…jika kamu tidak suka dengan ini dan itu, maka kamu boleh keluar dari sekolah ini….”. dan ternyata kata - kata ini mengebiri sejadi - jadinya kemampuan para pahlawan pendidikan yang idenya tidak pernah mati.
dan jika ditelusuri selama ini, guru - guru yang berprestasi di indonesia 70 % diantaranya adalah dari guru honorer.  jadi… untuk para guru honorer,,,,,bersemangatlah….dan jangan pernah takut untuk melakukan yang terbaik bagi siswa - siswi kita. karna yang Maha pemberi rizki adalah ALLAH yang Maha Kaya. dan jika kita mendapati pemimpin kita mengebiri kemajuan kita, maka katakanlah bahwa kita orang yang bebas dari semua tekanan demi kemajuan negara ini. dan mereka tidak berhak membatasi keinginan kita untuk maju dan berkembang. dan jika mereka tetap tidak bisa menerima, maka katakan pada mereka yang akan membantu kita adalah ALLAH SWT dan tidak akan ada yang bisa menghalangi kreatifitas kita.

Out Of The Box

Pak Atok adalah orang yang sangat sederhana dan tinggal di sebuah desa kecil, tepatnya sebuah dukuh yang berjarak sekitar 7 km dari desa yang membawahinya. Pendidikan tertinggi yang telah diselesaikannya adalah SMA. Bertani adalah pekerjaan yang telah ditekuni sejak ia muda hingga sekarang.
Satu hal yang menarik dari kisah hidup pak Atok adalah keberaniannya untuk keluar dari kebiasaan dan tradisi. Dalam bahasa kerennya out of the box. Apa yang dilakukannya? Mengapa ia berani melakukannya?
Pak Atok dibesarkan bersama dengan adiknya di dukuh yang sama dengan tempat tinggalnya. Ayahnya seorang perokok berat yang bisa menghabiskan satu bungkus rokok dalam satu hari. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri dalam dirinya.
Dalam pemikirannya yang sederhana, ia melihat bahwa rokok bukanlah barang yang menyehatkan, justru mematikan. Membeli rokok berarti sebuah pengeluaran ekstra dan tidak mendatangkan keuntungan sama sekali. Kerugian yang sangat besar justru diraih oleh para perokok. Sejak mudanya, pak Atok memutuskan tidak merokok….
Oleh karena itu, ia mengingatkan dengan keras anak laki-lakinya untuk tidak merokok. Bila dibandingkan dengan anak-anak seusianya, anak pak Atok memang tampil beda. Ia tidak merokok sama sekali. Anaknya benar-benar taat pada perintah ayahnya.
Apa yang dilakukan pak Atok ini sangat menarik. Dibesarkan dalam lingkungan perokok tetapi ia sendiri tidak menjadi perokok. Ia bahkan menentang perilaku merokok sehingga ia melarang dengan anaknya untuk merokok.
Tetapi bukan ini yang ingin saya sampaikan terkait dengan keberanian pak Atok yang out of the box itu. Saat pak Atok sudah mulai dewasa tetapi belum menikah, ia membuat sebuah keputusan yang sangat besar. Sebuah keputusan yang bisa mempengaruhi sepanjang sisa hidupnya.
Bukankah keputusan pak Atok untuk tidak merokok merupakan keputusan yang penting dan berpengaruh sepanjang sisa hidupnya? Benar! Tetapi ada hal lain yang menurut saya perlu diperhitungkan juga.
Suatu hari, pak Atok menasihati ayahnya untuk tidak merokok lagi. Rokok sudah membuat kesehatan ayahnya menurun. Ayahnya sering batuk-batuk kecil. Ia khawatir akan kesehatan ayahnya itu.
Ayahnya beralasan bahwa merokok membuatnya lebih segar dan tidak mengantuk. Tidak merokok justru akan menurunkan produktivitasnya. Tidak merokok membuatnya merasa lemas dan tidak bergairah.
Atok muda saat itu tidak kehilangan akal. Ia memberikan tips yang ia sendiri juga belum pernah melakukannya. Mungkin, ia pernah mengetahui seseorang yang menggunakan tips itu untuk menghentikan kebiasaan merokok.
Dalam budaya Jawa, orang yang lebih muda pantang memberi nasihat kepada orang yang lebih tua. Mungkin kalau dari adik ke kakak masih dapat ditoleransi, tetapi hal ini tidak berlaku dari anak kepada orang tua. Anak yang berani menasihati orang tuanya untuk melakukan ini dan itu bisa dianggap tidak menghormati orang tua. Anak kurang ajar bisa menjadi stigma yang mewarnai hidupnya.
Keberanian Atok muda untuk menasihati ayahnya untuk tidak merokok lagi sungguh-sungguh luar biasa. Ia siap dianggap sebagai anak yang tidak menghormati orang tua. Ia siap dinilai sebagai anak yang kurang ajar. Ia siap menanggung resiko akibat keberaniannya. Ia siap menghadapi masalah karena kepeduliannya terhadap kesehatan ayahnya.
Keberanian lain dari Atok muda adalah memberikan tips kepada orang tuanya. Tips itu bahkan bukan dari pengalamannya sendiri. Bagaimana jika ayahnya tidak mempercayai tips itu? Bagaimana jika ayahnya menolak tips itu? Bukankah tradisi seperti itu juga berhubungan dengan penolakan orang yang lebih tua untuk belajar dari mereka yang lebih muda?
Apa yang dilakukan Atok muda sungguh luar biasa. Ia tidak mau dikungkung dengan tradisi yang bisa mengakibatkan kerugian untuk keluarganya. Ia berani menembus dinding tradisi yang tebal di lingkungannya demi sebuah idealisme. Ia melakukan hal yang sangat luar biasa karena percaya bahwa ia sedang melakukan hal yang benar.
Tradisi memang tidak bisa dilepaskan dari hidup kita. Tradisi muncul dari sebuah kebiasaan. Kebiasaan muncul karena suatu peristiwa yang tentu saja ada alasannya. Setelah kebiasaan itu mengakar di sebuah masyarakat, maka itu berubah menjadi tradisi. Tradisi ini diturunkan ke generasi berikutnya dengan alasannya tetapi seiring berjalannya waktu, alasan itu sering tidak disampaikan. Hal ini menimbulkan munculnya doktrin ‘pokoknya’ untuk menolak memberikan penjelasan. Saat terdesak untuk memberikan alasan, sering kali muncul alasan yang sifatnya menakut-nakuti. Akhirnya, sebuah tradisi menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi yang melanggarnya.
Saya dan istri mengajar kedua anak kami untuk berani menyatakan pendapat, bahkan menegur kami jika ada sesuatu yang tidak tepat. Kami harus belajar untuk menerima teguran dan nasihat dengan terbuka.
Selain itu, saya secara pribadi juga telah belajar untuk mengembangkan sikap yang mau belajar dari orang yang lebih muda. Bukankah tidak ada orang yang ahli dalam segala bidang?
Tidak selamanya tradisi itu salah dan merugikan. Kita harus bijak dalam menimbang hal ini. Saat sebuah tradisi sepertinya ‘merugikan’ kita, maka kita harus dengan hati-hati memikirkan berbagai macam aspek terkait dengan tradisi itu.
Tidak selamanya out of the box itu juga baik. Sikap out of the box yang tidak bijaksana bisa membuat benturan yang luar biasa dalam hidup kita. Berhati-hatilah saat Anda hendak bertindak out of the box.
Salam OUT OF THE BOX!

Sekolah Kita, Antara Idealitas dan Realita

Pendidikan adalah perubahan kepada yang lebih baik. Kata’lebih baik’ tentunya mengacu kepada tidak hanya kuantitas namun juga kualitas. ‘Baik dari sisi kuantitas’ lebih mudah untuk diraih dari pada ‘baik secara kualitas’. Namun demikian, keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling berjalin berkelindan.
Kuantitas pendidikan lebih mengarah kepada angka-angka variabel yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan. Misalnya jumlah siswa, jumlah sekolah, jumlah guru, angka nilai maupun jenis variabel yang lain yang bisa dikonversi ke angka. Bila hal-hal tersebut mengalami penurunan jumlah, dapat dikatakan secara kuantitas menurun.
Sebaliknya, kualitas lebih menaruh perhatiannya kepada nilai-nilai yang tidak berkait dengan angka-angka. Kualitas berkaitan dengan sejauhmana jangkauan mutu sebuah pendidikan dapat dibangun untuk mengarah kepada target yang telah ditentukan. Termin itu juga lebih berfokus pada baik buruk, kurang baik, baik, lebih baik dan sangat baik,  atau ekspresi-ekspresi kualitatif.
Terkait dengan kualitas pendidikan di Indonesia yang masih terkesan carut marut, apalagi pendidikan secara luas misalnya pengajaran yang saat ini, yang kalau di Kompasiana sering disoroti oleh banyak Kompasianer, masih perlu terus dipantau agar bisa sejalan dengan idealitas pendidikan yang sebenarnya. Tentunya kritik dan sorotan itu adalah hal yang wajar dan disikapi secara konstruktif dalam konteks pendidikan yang lebih luas.
Juga dengan dikotomi guru negeri dan guru swasta, yang memposisinegatifkan guru-guru negeri yang pola kerjanya semakin tidak standar. Guru swasta, dalam konteks ini, tentu mendapatkan angin, karena memang mereka lebih serius melakukan pengajaran kepada siswa-siswanya.
Keluhan-keluhan di sekolah-sekolah negeri terus mengoncang dunia pendidikan Indonesia. Dari guru yang sering tidak masuk, guru yang pengajarannya tidak standar, guru yang sering telat, guru yang lebih banyak di kantor daripada di kelas, guru yang banyak job luar, hingga guru yang sering mengambil keuntungan lain dengan mengadakan les di rumah. Performa guru-guru negeri yang cenderung negatif itu nampaknya tidak juga dijadikan cambuk bagi guru-guru yang bersangkutan. Kondisi ini seakan-akan menyetujui bahwa demikianlah kondisi yang sebenarnya.
Pembentukan budaya dan karakter pada sekolah juga sangat lemah. Sekolah-sekolah negeri tidak lebih hanya menjalankan roda agar tidak berjalan melenceng tanpa memerhatikan ritme dengan mengabaikan aspek-aspek pendidikan yang lain.
Lihat saja, keluhan masyarakat pengguna sekolah negeri yang merasa tidak nyaman dengan kondisi beberapa sekolah negeri. Masyarakat sejatinya sudah cerdas memandang masalah, hanya saja pilihan jatuh ke sekolah negeri karena memang sekolahnya lebih murah dan gratis. Mereka tidak menitikberatkan pada kualitas output, tetapi pada daya jangkau keuangan mereka.
Keluhan orang tua akan banyaknya tugas (PR) siswa sekolah dasar yang sangat tidak wajar, karena bila kuantitas tugas itu demikian adanya, sangat membebani siswa. Guru sepertinya tidak mengukur kemampuan siswa dalam mengejakan tugas-tugas sekolah.
Kita semua menyadari, tugas mengajar memang tidak ringan dan hal ini terkadang membuat guru merasa tertekan. Dan hal ini bisa terjadi kepada guru-guru di negeri maupun di swasta. Namun pertanyaannya mengapa keluhan-keluhan masyarakat lebih mengarah kepada sekolah negeri. Apakah sekolah swasta tidak mengalami hal-hal itu? Sehingga buntut dari pertanyaan itu, muncullah komentar miring “apakah karena sekolah negeri itu murah atau bahkan gratis, sehingga mengajarnya juga seenaknya“,”emang kalian bayar sekolah di sini“. Efek dari itu tentu akan kembali kepada kondisi psikologis siswa-siswa yang belajar di sekolah itu, sehingga sekolah tak lain dan tak bukan hanya upaya menggugurkan kewajiban.
Padahal tidak sedikit atau sudah banyak sekolah-sekolah itu memiliki guru yang tersertifikasi. Status “sertifikasi” sudah menjadi idaman para guru bukan karena profesionalitasnya diakui, namun karena tunjangannya yang sangat luar biasa. Guru-guru yang demikian, memiliki penghasilan yang luar biasa besar, mungkin sudah dikategorikan guru sejahtera. Namun demikian, ironisnya, hal itu tidak berbanding lurus dengan kualitas pengajarannya.
Semoga menjadi bahan perenungan kita…
Wallahu a’lam.

Kamis, 19 Januari 2012

Kamis, 19 Januari 2012

Entrepreneur Sosial "Tak Sekedar Memberi Kail"

Untuk melakukan pemberdayaan orang miskin jangan berikan padanya ikan. Berilah kail.  Kenapa kail?  Kail sinonim dengan alat. Yakni alat untuk mencari ikan.  Bentuk kail bermacam-macam dapat berupa pancing, jala, rumpon atau sejenisnya yang mampu menghasilkan ikan.  Harapannya sederhana, dengan alat itu orang miskin mampu bekerja sehingga mendapatkan ikan dari hasil keringatnya sendiri.  Kerja yang dilakukan sendiri, cenderung lebih sustain dibanding meminta-minta, dan tentu lebih terhormat. Hasil kerja dari usaha sendiri jauh lebih berharga dari sekadar meminta-minta.  Sebagaimana riwayat  Rasulullah yang telah memberikan kapak kepada orang miskin peminta-minta.  Kemudian orang miskin, tersebut pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar.

Bila kita cermati lebih mendalam, permasalahan  orang miskin kian hari kian rumit.  Dulu orang miskin hanya masalah modal atau masalah minimnya skill.  Dengan modal mereka mampu mengakses sumber daya alam di sekitar mereka dengan keahlian yang telah mereka miliki.  Kini, masalah orang miskin tidak sesederhana kondisi dahulu.  Sumber daya alam yang selama ini menjadi akses sumber penghasilan mulai tidak menghasilkan.  Hutan-hutan gundul. Kalau masih ada tanaman, kemungkinan besar telah dikuasai konglomerat.  Bagi orang miskin yang memiliki skill berjualan di pasar tradisional, kini mengurut dada karena kalah bersaing pamor dan harga dengan swalayan yang mulai masuk ke desa-desa. Indonesia yang pernah menyebut dirinya adalah negara agraris, petani yang mayoritas orang miskin bingung karena perubahan musim yang tidak mampu diprediksli oleh ahli iklim. Ramalan cuaca kadang meleset dengan alasan perubahan iklim global.  Petani cukup sulit menentukan tanaman apa yang tepat.  Giliran hasil panennya melimpah, mereka dilahap oleh bandar, rentenir atau bahkan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga pupuk.  Petanipun tidak mampu tanam untuk musim berikutnya.

Pemberdayaan masyarakat memang harus mampu menumbuhkan jiwa entrepreneur orang miskin. Banyak yang masih menyangsikan, apakah bisa atau tidak.  Bila cara pandang kita adalah memberikan kail, maka kita harus bersiap untuk mengurut dada, karena mereka akan bersaing dengan konglomerat lokal yang kadang nurani sosialnya lebih tipis dari pada nurani bisnisnya.  Pilihannya, adalah bagi para pejuang pemberdayaan tidak sekedar memberikan kail tetapi membekali orang miskin untuk dapat memilih jenis kail yang tepat. Mereka juga dibekali ilmu untuk memilih lokasi atau sumber ikan yang diduga mampu menghasilkan ikan, sehingga hasilnya mampu dibawa pulang. Mereka juga harus dibekali pengetahuan tentang pasar agar mengetahui jerih payahnya dihargai berapa.  Mereka harus juga diberikan seorang pendamping, yang mampu untuk memberikan motivasi kepada mereka, sehingga dalam memiliki teman untuk bercerita ketika susah, membantu problem yang mereka alami untuk dicarikan solusi. Lebih dari itu, kehadiran pendamping  program bias membantu untuk merencanakan kehidupan di masa depan.

Masyarakat Mandiri ingin menguatkan posisinya sebagai lembaga pendampingan komunitas.  Masyarakat mandiri menyakini bahwa kail-kail yang diberikan di masyarakat kadang kala tidaklah cukup efektif untuk meningkatkan taraf hidup mereka apalagi harus lebih sustain.   Kita perlu memastikan bahwa mereka telah memiliki kemampuan untuk menggunakan kail dengan tepat, merawatnya, dan serta menumbukan keyakinan bahwa kail ini adalah bagian dari ikhtiar yang mulia.  Waallahu ‘alam

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates