Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Rabu, 25 Januari 2012

Rabu, 25 Januari 2012

Sekolah Kita, Antara Idealitas dan Realita

Pendidikan adalah perubahan kepada yang lebih baik. Kata’lebih baik’ tentunya mengacu kepada tidak hanya kuantitas namun juga kualitas. ‘Baik dari sisi kuantitas’ lebih mudah untuk diraih dari pada ‘baik secara kualitas’. Namun demikian, keduanya tidak dapat dipisahkan dan saling berjalin berkelindan.
Kuantitas pendidikan lebih mengarah kepada angka-angka variabel yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan pendidikan. Misalnya jumlah siswa, jumlah sekolah, jumlah guru, angka nilai maupun jenis variabel yang lain yang bisa dikonversi ke angka. Bila hal-hal tersebut mengalami penurunan jumlah, dapat dikatakan secara kuantitas menurun.
Sebaliknya, kualitas lebih menaruh perhatiannya kepada nilai-nilai yang tidak berkait dengan angka-angka. Kualitas berkaitan dengan sejauhmana jangkauan mutu sebuah pendidikan dapat dibangun untuk mengarah kepada target yang telah ditentukan. Termin itu juga lebih berfokus pada baik buruk, kurang baik, baik, lebih baik dan sangat baik,  atau ekspresi-ekspresi kualitatif.
Terkait dengan kualitas pendidikan di Indonesia yang masih terkesan carut marut, apalagi pendidikan secara luas misalnya pengajaran yang saat ini, yang kalau di Kompasiana sering disoroti oleh banyak Kompasianer, masih perlu terus dipantau agar bisa sejalan dengan idealitas pendidikan yang sebenarnya. Tentunya kritik dan sorotan itu adalah hal yang wajar dan disikapi secara konstruktif dalam konteks pendidikan yang lebih luas.
Juga dengan dikotomi guru negeri dan guru swasta, yang memposisinegatifkan guru-guru negeri yang pola kerjanya semakin tidak standar. Guru swasta, dalam konteks ini, tentu mendapatkan angin, karena memang mereka lebih serius melakukan pengajaran kepada siswa-siswanya.
Keluhan-keluhan di sekolah-sekolah negeri terus mengoncang dunia pendidikan Indonesia. Dari guru yang sering tidak masuk, guru yang pengajarannya tidak standar, guru yang sering telat, guru yang lebih banyak di kantor daripada di kelas, guru yang banyak job luar, hingga guru yang sering mengambil keuntungan lain dengan mengadakan les di rumah. Performa guru-guru negeri yang cenderung negatif itu nampaknya tidak juga dijadikan cambuk bagi guru-guru yang bersangkutan. Kondisi ini seakan-akan menyetujui bahwa demikianlah kondisi yang sebenarnya.
Pembentukan budaya dan karakter pada sekolah juga sangat lemah. Sekolah-sekolah negeri tidak lebih hanya menjalankan roda agar tidak berjalan melenceng tanpa memerhatikan ritme dengan mengabaikan aspek-aspek pendidikan yang lain.
Lihat saja, keluhan masyarakat pengguna sekolah negeri yang merasa tidak nyaman dengan kondisi beberapa sekolah negeri. Masyarakat sejatinya sudah cerdas memandang masalah, hanya saja pilihan jatuh ke sekolah negeri karena memang sekolahnya lebih murah dan gratis. Mereka tidak menitikberatkan pada kualitas output, tetapi pada daya jangkau keuangan mereka.
Keluhan orang tua akan banyaknya tugas (PR) siswa sekolah dasar yang sangat tidak wajar, karena bila kuantitas tugas itu demikian adanya, sangat membebani siswa. Guru sepertinya tidak mengukur kemampuan siswa dalam mengejakan tugas-tugas sekolah.
Kita semua menyadari, tugas mengajar memang tidak ringan dan hal ini terkadang membuat guru merasa tertekan. Dan hal ini bisa terjadi kepada guru-guru di negeri maupun di swasta. Namun pertanyaannya mengapa keluhan-keluhan masyarakat lebih mengarah kepada sekolah negeri. Apakah sekolah swasta tidak mengalami hal-hal itu? Sehingga buntut dari pertanyaan itu, muncullah komentar miring “apakah karena sekolah negeri itu murah atau bahkan gratis, sehingga mengajarnya juga seenaknya“,”emang kalian bayar sekolah di sini“. Efek dari itu tentu akan kembali kepada kondisi psikologis siswa-siswa yang belajar di sekolah itu, sehingga sekolah tak lain dan tak bukan hanya upaya menggugurkan kewajiban.
Padahal tidak sedikit atau sudah banyak sekolah-sekolah itu memiliki guru yang tersertifikasi. Status “sertifikasi” sudah menjadi idaman para guru bukan karena profesionalitasnya diakui, namun karena tunjangannya yang sangat luar biasa. Guru-guru yang demikian, memiliki penghasilan yang luar biasa besar, mungkin sudah dikategorikan guru sejahtera. Namun demikian, ironisnya, hal itu tidak berbanding lurus dengan kualitas pengajarannya.
Semoga menjadi bahan perenungan kita…
Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates