Nasib PRT = Selalu Kalah
PRT. Pembantu Rumah Tangga, babu kasarannya. Pekerja Rumah Tangga, begitu istilah baru yang coba diperkenalkan dan disosialisasikan satu dekade terakhir oleh Rumpun Tjoet Njak Dien (RTND), LSM yang bergerak di bidang penguatan, pendampingan dan perlindungan PRT pada masyarakat. Bicara soal nasib PRT, tentu masih lekang dalam ingatan kita kasus Ceriyati, atau yang terbaru kasus Siti Hajar, sekujur tubuh penuh bekas luka. Itu yang terekspose media, tentunya masih banyak kasus-kasus lain yang tak hanya menimpa PRT yang bekerja di luar negeri, tetapi di negeri sendiri, yang mengalami nasib serupa dengan pahlawan penyumbang devisa negara tersebut. Tetapi julukan istimewa itu ternyata tak seistimewa namanya, bahkan bertolak belakang dengan nasib mereka. Meskipun demikian, tetap jumlah tenaga kerja yang mengadu nasib keluar negeri tak surut, malah kian membengkak. Iming-iming materi, gaji dalam jumlah besar untuk menambal kebutuhan ekonomi seakan menutup mata mereka dari kekerasan yang kerap terjadi dan ketiadaan payung hukum yang menaungi.
Belum Ada Regulasi
Tak hanya PRT Migran, untuk PRT domestik pun yang nyata-nyata menjadi mayoritas pencaharian warganegara kelas bawah pun negeri ini belum bisa memberikan regulasi yang jelas. Ini sungguh ironis, mengingat peran penting pekerja rumah tangga dalam lingkup kerumahtanggaan. Namun justru lingkup kerja yang merupakan wilayah domestik atau privat itulah yang membuatnya tak terlihat dari luar sehingga pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap kekerasan tetapi tak tersentuh hukum. Selain pola pikir masyarakat yang masih menganggap PRT adalah batur, ngemban tutur, sehingga titah majikan layaknya sabda pandita ratu yang harus dilaksanakan, tetapi hak-hak mereka tak pernah terpenuhi. Ironis bukan? Lalu siapa yang patut dipersalahkan? Mereka yang memilih profesi PRT akibat keterpaksaan ekonomi atau kah pemerintah yang hingga detik ini belum memberikan regulasi yang jelas dan spesifik mengatur upah dan kelayakan kerja bagi PRT? Saling tunjuk pun rasanya tak berguna. Yang terpenting adalah bagaimana cara memberi perlindungan bagi PRT dengan belum adanya naungan hukum. Diantaranya adalah dengan penggunaan perjanjian kerja karena salah satu penyebab kekerasan dan kelalaian hak oleh majikan disebabkan tidak adanya perjanjian kerja kedua belah pihak pada awal masa kerja sehingga majikan seperti diberi angin segar untuk melalaikan kewajiban dan ringan tangan dalam melakukan kekerasan.
0 komentar:
Posting Komentar