Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Rabu, 28 Desember 2011

Rabu, 28 Desember 2011

KETIKA SEKOLAH MENJADI PENJARA

Guru yang bertingkah bak preman, penjatuh mental anak didik, telah membuat kelas menjadi tempat pelecehan. Mereka mengajar dengan gaya konvensional yang hampir seperti praktik pendidikan kaum tertindas”
(M:Ihza Ahsin Sidqi)

Belajar di sekolah yang lambat memintarkan, guru-guru yang berpikir konservatif, guru tidak suka membaca, guru pemarah, atau berbagai aturan sekolah yang membelenggu kemauan belajar adalah titik lemah sekolah yang sangat nyata sekarang ini. Sekolah selama ini dibayangkan oleh masyarakat sebagai sebuah kawah candradimuka yang akan memberikan jaminan bagi masa depan dan kehidupan anak-anak mereka. Sehingga dari keyakinan yang masih tertanam kuat itulah masyarakat berbondong-bondong memasukan anak mereka ke sekolah. Padahal, sekolah yang dibayangkan tidaklah murni memberi garansi masa depan yang lebih cerah, kini sebenarnya memberi janji kosong belaka. Justru sekolah kini menjadi candu dan penjara.
Sebagai sebuah institusi, sekolah khususnya dalam konteks Indonesia mengidap kelemahan yang cukup serius. Pertama, sekolah terlampau formal, sempit, ketat dan terbatas. Kedua, sekolah punya kultur yang feodal dan otoriter. Sekolah lantas hanya didefinisikan sebagai proses belajar dalam sebuah lembaga pendidikan yang formal dengan seperangkat aturan yang ketat dan kaku. Di sekolah juga, sekian persoalan justru menumpuk. Mulai dari sistem pendidikan ala militer, mendisiplinkan siswa dengan kekerasan, hingga metode yang sudah lapuk masih saja digunakan. Kasus kekerasan di sekolah yang sering terjadi adalah contoh gamblang yang tak bisa dimungkiri. Hasil Ujian Nasional yang jeblok adalah bukti yang juga sangat menohok bahwa sekolah memang hanya perduli pada otak bukan pada karakter para siswa. Dengan kondisi itu, saya yakin, tidak ada yang menyangkal bahwa pendidikan Indonesia, di semua jenjang, memang masih menghadapi persoalan pelik. Dimulai dari rendahnya mutu lulusan hingga permasalahan yang paling mengkhawatirkan, yaitu komersialisasi pendidikan. Dalam situasi tersebut, pendidikan tidak lagi dilihat sebagai public good, tapi lebih diarahkan sebagai privat good. Artinya mereka yang memiliki uang saja yang bisa mengakses pendidikan. Bahkan negara, dalam privat good, perlahan-lahan mengambil jarak bahkan institusi pendidikan dibiarkan berjalan sendiri. Persoalan atau isu pendidikan sebenarnya adalah persoalan atau perdebatan tentang perumusan tujuan dan fungsi pendidikan atau sekolah dalam kaitannya dengan masyarakat. Sedangkan perumusan tujuan atau fungsi pendidikan atau sekolah sangat dipengaruhi pandangan politik atau ideologi. Dalam konteks disiplin pendidikan terdapat bermacam-macam ideologi. Yang berkembang di Indonesia dapat dicirikan ke dalam tiga kategori besar; konservatif, liberal, dan radikal. Dengan membaca warna ideologi tersebut, bisa ditebak ke mana pendidikan atau setidaknya para lulusannya akan diarahkan dan dibentuk. Apakah sekadar dijadikan ’sekrup sosial’ atas sistem sosial (kapitalisme) ataukah ia akan menjadi para pembaru atau pembebas masyarakatnya.
Nah, buku yang ditulis seorang anak berusia 15 tahun ini, yang kemudian keluar dari sekolah, hendak melakukan pemberontakan bahwa ia tidak ingin hanya menjadi bagian dari sistem sosial yang justru tidak pernah memberikan kesempatan melakukan aktualisasi diri. Pemberontakan Ihza memang sangat wajar. Ia remaja radikal, aneh dan langka, punya pola pikir cemerlang, pengetahuan umum yang luas, besarnya kepercayaan diri, tekad dan mental baja, serta kemampuan menulis yang menakjubkan. Ia bahkan mengetahui sejarah sastrawan-sastrawan terkenal seperti Mark Twain, Rabindranath Tagore dan Bernard Shaw. Mengupas arti pendidikan yang sebenarnya melalui buku Sekolah Para Juara, Quantum Teaching and Learning, Delapan Kecerdasan dan Humanisasi Pendidikan Paulo Freire. Buku ini dimulai dari pertengkaran dengan sang ayah, yang juga guru namun meyakini bahwa sekolah tetap menjadi prioritas penting bagi seorang anak. Namun di sisi lain, sang ayah pun sebenarnya menyadari bahwa sekolah memang tidak mampu memberi jaminan bagi masa depan anaknya. Hanya karena takut dicap gagal mendidik anak oleh masyarakat, sang ayah tetap memaksa Ihza untuk sekolah. Tapi pilihan Ihza rupanya sudah mantap. Ia tetap ingin keluar sekolah dari sekian perenungan dan pengalaman semasa belajar di sekolah ia tidak menemukan ruang yang nyaman untuk belajar. Ia sudah tidak percaya lagi sekolah bisa memberi kepastian akan masa depan. Apalagi kepastian akan cita-cita yang menjadi pilihan hidupnya yaitu menjadi seorang penulis handal. Sikap tersebut sangat wajar, sebab di sekolah Ihza menemukan guru-guru konservatif, guru tidak suka membaca, guru pemarah, atau berbagai aturan sekolah yang justru membelenggu kreatifitasnya. Berbagai fakta itulah yang memberi keyakinan dia bahwa ia harus keluar dari sekolah. Selama sekolah Ia hanya menemukan satu guru yang memberi apresiasi atas kemampuan dirinya. Sebagai seorang guru, saya merasa tersentuh sekaligus malu ketika Ihza menyodorkan fakta-fakta bahwa di sekolah masih banyak berbagai metode yang justru sama sekali tidak memanusiakan dan hanya membelenggu kreatifitas siswa.
Di Indonesia mesti diakui bahwa sekolah, telanjur dianggap sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai yang akhirnya sekadar menjadi alat untuk mewariskan dan melestarikan nilai-nilai ”resmi” yang sedang berlaku dan direstui, tentu saja, oleh siapa yang berkuasa menentukan apa nilai-nilai resmi yang mesti berlaku dan direstui pada saat itu. Dibungkus dengan slogan-slogan indah tapi membius, misalnya nation and character building, nilai-nilai resmi itu wajib diajarkan di semua sekolah dengan satu penafsiran resmi yang seragam pula
Buku ini menggunakan pendekatan biografi. Dimulai dari berbagai cerita semasa duduk dibangku sekolah baik kisah sedih atau bahagia. Ihza, yang memiliki prinsip bahwa belajar itu sepanjang hayat dan tidak dibatasi sekat bernama sekolah, sedari awal memang sudah tidak nyaman dengan berbagai metode konvensional yang masih berlaku dan terus dipertahankan di sekolah di sekolah. Dalam buku ini juga ia mengkritik guru yang memperlakukan siswa laksana bejana kosong alias siswa dianggap bodoh sama sekali dan tidak punya pengalaman akan kehidupan. Kekecewaan terhadap sekolah rupanya mampu ia salurkan secara positif selama tinggal di rumah. Kegemarannya membaca berbagai koran dan majalah mampu ia salurkan menjadi kegitan yang bermanfaat, ia melakukan kliping berbagai peristiwa secara tersusun. Di waktu SMP, ia membuat kliping yang tebalnya 200 halaman tentang Olimpiade Yunani 2004. Sungguh ketekunan yang luar biasa. Dari berbagai aktifitas itulah akhirnya ia mulai menyadari potensi dirinya. Ia ingin menjadi penulis. Pikirannya bercabang-cabang seperti pohon dan semakin kompleks. Hasratnya hanya bisa terpenuhi bila diwujudkan dengan menulis novel sampai beberapa seri tebal. Ia akhirnya memutuskan mendalami dunia tulis menulis, percaya pada kekuatan fokus dan melupakan sekolah serta pendidikan formal.
Selain menyodorkan fakta-fakta buram dunia sekolah, buku ini memberi penjelasan kepada kita bagaimana sesungguhnya seorang yang bercita-cita menjadi penulis meski memiliki sikap sungguh sungguh dan tidak meniru penulis lain. Pada akhirnya, buku ini menyadarkan kita bahwa pendidikan, dalam hal ini sekolah, memang memiliki persoalan yang serius dan takut sehingga mesti cepat diobati. Selain itu, buku ini juga menurut saya merupakan kritik terhadap para guru yang memang merupakan ujung tombak pendidikan di sekolah. Ayah Ihza, yang juga seorang guru sangat sedih ketika melihat guru justru tidak menjadi rekan bagi para siswa dan malah menjadi musuh. ”Saya merasa sedih ketika guru-guru muda dengan wajah garang yang dibuat-buat, membawa gunting untuk memotong rambut siswa yang kepanjangan. Saya meronta ketika melihat guru menendang kaki siswa karena sepatunya tidak seragam, atau menyelupkannya ke dalam ember penuh air kemudian menyuruh siswa memakai sepatu yang sudah basah kuyup itu kembali. Ini dilakukan hanya untuk sebuah kedisiplinan. Saya lebih meronta ketika melihat seorang guru merendahkan derajat siswanya dengan kata- kata yang mencemooh di depan teman-temannya.” Sungguh buku yang menggugah dan layak dibaca bagi mereka yang bergelut di dunia pendidikan dan mereka yang ingin menjadi seorang penulis. Gaya bertutur dalam buku ini, meski ditulis seorang anak usia 15 tahun, sungguh memesona.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates