Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Jumat, 30 Desember 2011

Jumat, 30 Desember 2011

KEMISKINAN MENJADI PROFESI

Ketika negara begitu dermawan membagi-bagikan cash money kepada masyarakat miskin, sebagai akibat kelalaian pemerintah terhadap upaya mensejahterakan masyarakat tanpa terkecuali, dengan menaikkan harga BBM. Orang-orang mulai kasak kusuk membentangkan berbagai teori mereka tentang siapa yang berhak menerima dana segar seperti itu. Mulailah dengan teori pendapatan perkapita, ada yang menggunakan angka 1 dolar, ada pula dengan angka Rp. 15.ooo, sebagai penakar fitnah kemiskinan.
Namun usaha pemerintah dengan mendengungkan berbagai kriteria penerima dana segar itu mendapatkan respon beragam pada sisi redaksi yang digunakan, namun sama pada sisi sikap dan mental sebagian masyarakat, tiba-tiba menjadi lebih miskin. Sebab kemiskinan ternyata hanya dipandang pada sisi kepantasan seseorang mengenakan sesuatu, bukan karena mental atau jiwa nya yang miskin.
Pendapat bahwa kemiskinan bukan sekedar ketidakpunyaan akan harta benda, namun juga adalah sikap mental, jiwa dan kondisi serba kurang dalam aspek psikologis, maka ia juga dikenal sebagai orang miskin. Simak saja, para pemuda-pemuda “bergelantungan” di kedua tangan orang tua mereka, ada mereka yang tidak memiliki pekerjaan, namun dapat tercukupi kebutuhan hidupnya, disebabkan oleh warisan pat – pat gulipat orang tuanya, atau peninggalan kerajaan majapahit yang ditemukan di halaman kantor.
Mereka yang bergalutan di tangan orang tuanya, adalah potret kemiskinan semu. Sungguh ini bukan hanya potret buram, melainkan amat berbahaya. Bagi yang masih ditunjang orang tua, mereka termasuk pengangguran semu. Seolah-olah mereka tak punya persoalan dengan kemiskinan. Namun begitu orang tua bermasalah, pensiun atau tiba-tiba meninggalkan dunia fana, kemiskinan segera menampakkan wajah aslinya untuk segera mencabik-cabik. Apakah anda juga yakin bahwa deposito merupakan cara abadi menghasilkan uang? Anda pasti setuju bahwa deposito amat tergantung pada kondisi ekonomi politik. Berapa banyak orang hancur karena nilai kurs rupiah jatuh tahun 1998, atau berapa banyak orang yang berubah standar kewarasannya pada krisis di penghujung tahun 2008. Sementara hanya berapa gelintir orang yang malah untung saat krisis moneter itu.
Mendepositokan di bank membuatnya menjadi semakin pasif, menyimpan harta, emas atau perhiasan membuatnya semakin tidak produktif, hanya sekedar berharap kepada bagi hasil belaka. Akibatnya muncul kemalasan, kesia-siaan. Ajaran Islam dalam Al Qur’an mengemas prilaku ini dalam sebuah sikap yang tegas “..Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih, Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi dan mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu” (Al Quran surah 9 At Taubah –Pengampunan— ayat 34 – 35)
Kemiskinan menjadi profesi
Ketika anda sibuk menyiapkan daftar pekerjaan yang akan diselesaikan di kantor, di lembaga yang anda bangun, demikian pula dengan orang-orang yang melakukan hal yang sama. Mereka kemudian menemui anda di persimpangan jalan, dan hampir belum pulang ke rumah, sewaktu anda pulang meninggalkan kantor pada petang hari. Mereka kelihatannya lebih giat bekerja, mengalahkan etos kerja yang selama ini anda tunjukkan, mereka menjadikan kemiskinan menjadi profesi, pekerjaan atau jasa yang mereka tawarkan kepada mereka. Mereka menjadikan kemiskinan sebagai aset yang bisa dijual kepada anda.
Meminta-minta memang punya dua keunggulan yaitu efisien dan efektif. Bukankah azas efisien dan efektif yang diterapkan, merupakan inti kiat memenangkan persaingan. Mereka yang miskin tentu tak paham, bahwa cara meminta yang mereka lakukan ternyata memenuhi standar manajemen profesional. Efisien karena tidak memerlukan modal apapun. Semakin modalnya kurang, semakin efektif mendapat uang. Maaf, orang yang tak punya kaki dan tangan, cenderung lebih efektif mendapatkan uang ketimbang yang masih punya satu tangan dan satu kaki. Sesungguhnya zakat memang ditujukan untuk kalangan fakir seperti ini. Bagi yang masih lengkap tangan dan kaki, cukup bertepuk tangan dan menyanyi lagu apa saja. Semakin menyedihkan dan menyayat, semakin besar peluang mendapat sedekah.
Namun Orang miskin yang menyapu jalan dan Laskar Mandiri, sesungguhnyalah mereka fuqara walmasakin. Mereka tidak eksploitasi kemiskinan sebagai modal kerja. Mereka cegah dirinya agar tak hina. Dengan bekerja menyapu, mereka tengah megeksplorasi diri. Mereka bina mental untuk tetap berupaya mencari rezeki. Proses how to survive ini akan berpengaruh pada pembinaan mental keluarga. Bila sang bapak yang menyapu jalan tersebut paham tentang harkat sebuah pekerjaan, ia larang keluarganya meminta-minta. Meski sang bapak paham dan telah tenggelam selama bertahun-tahun bahwa pekerjaan menyapu jalan memang tidak pernah bisa jadi landasan keluarga untuk hidup layak.
Rasulullah saw mengingatkan kita : Berangkatlah kamu pagi-pagi, kemudian pulang memikul kayu api di punggungmu Lalu kamu bersedekah dengan itu tanpa meminta-minta kepada orang banyak Itu lebih baik bagimu daripada meminta-minta kepada orang banyak biar diberi ataupun tidak Sesungguhnya tangan yang memberi lebih mulia daripada tangan yang menerima Dan dahulukanlah memberi kepada orang yang menjadi tanggunganmu (Muslim)
Kepala keluarga yang menyapu jalan, telah mempraktekkan pesan Rasulullah saw. Ia nafkahi keluarga dengan bekerja membersihkan jalan. Itu adalah hasil keringatnya, bukan meminta-minta. Sementara orang miskin yang meminta-minta, menjadikan kemiskinan sebagai sumber nafkah. Dari hasil mengemis ini, penghasilan mereka memang berkali lipat ketimbang rekan-rekannya yang menyapu jalan. Di kota-kota besar terutama di Jakarta, penghasilan dari meminta-minta ini bisa mencapai ratusan ribu rupiah per hari. Jika minimal seratus ribu rupiah per hari, maka penghasilan peminta-minta mencapai Rp 2,5 juta hingga Rp 3 juta per bulan. Berapa gaji anda? Bukankah ini penghasilan pegawai swasta yang memiliki jabatan setara kepala bagian. Itu semua diperoleh tanpa bersusah payah sekolah, tanpa perlu magang atau melalui jenjang pelatihan dan pengalaman sekian tahun bekerja. Hanya dengan memasang “wajah penghabisan”, mencari rezeki menjadi mudah bagi kalangan peminta-minta.
Kemiskinan gaya baru memang telah berkembang, yang menjadikan kemiskinan sebagai profesi. Definisi kemiskinan tak lagi menjelaskan status sosial, melainkan telah jadi sumber mencari rezeki. Itulah fuqara walmasakin yang telah berubah jadi fuqara masa kini. Jumlah fuqara masa kini makin hari bertambah-tambah. Yang dikoordinir maupun yang terjun tanpa koordinasi meruyak di mana-mana. Seperti di berbagai perempatan jalan, mereka tiba-tiba hadir berkelompok. Yang tidak dikoordinir, mengerahkan anak-anaknya meminta-minta. Sementara para orang tuanya memantau dari tepi jalan atau sudut-sudut tembok yang sulit dilihat pengguna jalan. Sebuah fenomena baru, mengemis jadi profesi. Di kota-kota besar mereka tinggal sekadarnya. Tapi di kampung, siapa sangka di antara mereka, ada yang memiliki rumah, kerbau dan sawah. Padahal “Siapa yang meminta-minta kepada orang banyak untuk menumpuk harta kekayaan, berarti dia meminta bara api Baik yang diterimanya sedikit ataupun banyak (HR. Muslim)
Juga seperti yang banyak dikatakan orang, pengemis yang dikoordinir, harus mengganti baju serta menggendong bayi sewaan. Dengan mencubitnya, bayi pun menangis. Dengan harapan iba pengguna jalan terpantik untuk segera merogoh kocek. Sering anda langsung memberi. Tapi terkadang anda tak peduli. Anak-anak jalanan pun jumlahnya tidak berkurang-kurang. Anak-anak yang terjun ke jalan karena problem kemiskinan di rumah, seolah mendapat dukungan dengan penyediaan fasilitas seperti rumah singgah. Penanganan ini memacu teman-teman yang lain untuk bersama-sama menjadi anak jalanan. Sedang di jalan-jalan tempat ibadah, sering dikunjungi para pengemis. Setiap hari Jumat, sekitar pukul 10 pagi pengemis sudah berdatangan memenuhi jalan menuju masjid. Demikian juga dengan berbagai klenteng. Di tiap hari libur atau saat perayaan Imlek, pengemis pun banyak mencari rezeki dari belas kasihan pengunjung. Namun yang menarik, mengapa sedikit sekali pengemis berkeliaran di berbagai gereja di hari libur Ahad. Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (Al Quran surah 3 Ali Imran –Keluarga Ali– ayat 139)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates