Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Jumat, 30 Desember 2011

Jumat, 30 Desember 2011

IRONISME PENGELOLAAN WAKAF

ronisme menggambarkan disparitas antara potensi dan tradisi pengelolaan wakaf di Indonesia. Study yang dilakukan oleh Universitas Islam Hidayattullah pada tahun 2006 menggambarkan betapa potensi tersebut tidak tergarap maksimal, dalam penelitian tersebut mengungkapkan bahwa terdata 363.000 bidang tanah, setara dengan 560 trilyun, senilai 67 milyar dolars (dengan kurs Rp. 9.700,00). Andai saja seluruh aset wakaf tersebut dijual, maka setidaknya akan melunasi seluruh beban APBN negara ini pada awal tahun 2008.
Lebih lanjut penelitian UIN ini mengungkapkan fakta lain bahwa pemanfaatan tanah wakaf ini jauh dari maksimal. Di sini terlihat bahwa persoalan yang lebih mendasar tampaknya adalah pada pemanfaatannya: 79% dari perwakafan tersebut digunakan untuk pemebangunan masjid/mushola, 55% untuk lembaga pendidikan, 9% untuk pekuburan, dan 3% atau kurang untuk fasilitas umum lainnya (sarana jalan, sarana olah raga, WC umum, dan sejenisnya). Melihat data ini, betapa pengelolaan wakaf ini masih berkutat pada aspek konsumtif belaka; ini pekerjaan rumah program wakaf di Indonesia.
Tema produktifitas pengelolaan wakaf contohnya adalah pengelolaan aset wakaf di Pasantren Gontor. kasus wakaf Pondok Modern Gontor, sebuah lembaga pendidikan yang sama-sama kita kenal mumpuni. Pondok Gontor ditopang oleh sekitar 320 hektar lahan wakaf, 212 hektar di antaranya adalah sawah produktif. Dari sini Pondok Gontor memperoleh hasil panen senilai Rp 726 juta, tiap dua musim panen (data 2003). Selain dari sawah padi, Pondok Pesantren Gontor juga memperoleh pendapatan dari kebun cengkeh dan kegiatan niaga lain di lingkungannya, meski relatif lebih kecil. Dengan dukungan dana wakaf ini, Pondok Gontor mampu menyediakan jasa pendidikan bermutu, bagi sekitar 35 ribu siswa, dengan relatif murah.
Ironisme pengelolaan aset wakaf ini bisa kita lihat pada beberapa aspek pengelolaan wakaf di Indonesia. Ironisme ini adalah tradisi yang berkembang di Indonesia, di tengah-tengah ironisme ini lah pengelolaan wakaf berkembang tertatih-tatih. Berikut penulis memaparkan ironisme tersebut.
Pertama; di Indonesia, wakaf adalah tradisi, bagaimana tidak tradisi tersebut menyebar; wakaf tidak dibebani nishab, ribuan masjid berdiri di tanah wakaf, jutaan tanah kuburan berasal dari tanah wakaf. Ini tradisi, sekaligus potensi yang terabaikan. Inilah ironisme pertama; salah satu bentuk pengabaian bahkan penelantaran potensi adalah minimnya regulasi wakaf di Indonesia. Baru tahun 2004, regulasi wakaf dikeluarkan.
Regulasi pada tahun 1977 tentang wakaf hanya dikeluarkan berupa peraturan pemerintah, yakni PP Nomor 28 tahun 1977, dan itupun masih berkutat pada wakaf pertanahan; tentu ini adalah pola lama, sehingga wakaf tanah masih beranjak dari pengelolaan mushola, kuburan, madrasah. Cukup lama negara ini bertahan dengan satu regulasi, hingga tahun 2004 pemerintah mengeluarkan peraturan tentang wakaf uang, sebuah loncatan yang jauh; kemudian pada tahun 2007 pemerintah membentuk Badan Wakaf Indonesia.
Kedua; ini adalah ironisme nadzhir. Pengelolaan wakaf di Indonesia sedikit sekali yang dikelola secara maksimal oleh lembaga, sisanya adalah nadzhir yang turun temurun, nadzhir di Indonesia adalah anak-anaknya, cucu dan pewaris lainnya; ini bukan saja tidak maksimal dalam pengelolaanya, melainkan memunculkan peta konflik yang tidak sedikit, dari yang menguras air mata, sampai kehilangan jiwa.
Ketiga; ironisme legalitas. Hampir sulit ditemukan tanah wakaf atau sesuatu yang diwakafkan memiliki legalitas; tradisi wakaf yang cukup dengan sekedar “saya telah berwakaf” membuat api dalam sekam; sewaktu-waktu digugat; contoh kasus adalah wakaf tanah untuk pendirian pasantren di salah satu kabupaten di Kalimantan barat; kini digugat untuk dikembalikan, dan ternyata usut legalitas; tanah yang diwakafkan sebelumnya adalah tanah bersertifikat orang lain, bukan milik pewakaf.
Keempat, ironisme manfaat wakaf. Selain untuk pengelolaan wakaf untuk fasilitas umum, semisal mushola, kuburan, dan madrasah. Ironisme ini misalnya wakaf untuk pendirian madrasah. Taruh saja namanya madrasah “selalu sederhana”. Awal pendirian madrasah “selalu sederhana” digunakan untuk kemalshatan umat, karena disinilah maksud diperuntukkan. Lama-kelamaan, madrasah itu kemudian melakukan berbagai pengembangan, mulailah dilakukan perombakan di sana-sini; dilakukan pemugaran diberbagai bidang. Hasilnya berdirilah dengan megah sebuah madrasah, dengan berbagai fasilitas yang ada. Dengan sistem pendidikan yang dikembangkan, rupanya madrasah itu mendapatkan peminatnya yang cukup banyak. Pada awalnya madrasah itu dikembangkan untuk kemaslahatan umat secara luas, akhirnya bergeser; ditetapkan syarat ekonomi yang sulit dijangkau oleh semua orang, kecuali para wali murid pejabat, pengusaha ternama; selebihnya tidak ada lowongan untuk anak kuli bangunan, buruh tani dan lain sebagainya. Maanfaat dari tanah wakaf tersebut menjadi serba sempit, dan mengalami ironisme manfaat wakaf.
LAZ TPU Al Mumtaz kemudian menawarkan berbagai tawaran program produktif, adalah wakaf untuk sarana niaga, yakni pembangunan kios di beberapa tempat strategis, kemudian kios tersebut disewakan; dan hasil sewa tersebut digunakan untuk mendanai berbagai program sosial, seperti program pendidikan, ekonomi produktif dan lain sebagainya.
Contoh pendirian Asrama mahasiswa, usaha karikatif yang dikembangkan oleh LAZ TPU Al mumtaz ini adalah untuk menampung mahasiswa-mahasiswa dari berbagai daerah yang tercatat sebagai penerima beasiswa di LAZ TPU Al Mumtaz. Menarik bukan? kita membutuhkan partisipasi anda untuk berwakaf, agar tidak lagi terjadi ironisme.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates