Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

Rabu, 28 Desember 2011

Rabu, 28 Desember 2011

INSPIRASI GURU

Setiap orang kiranya dapat menjelma menjadi sosok yang mengajari kita tentang sesuatu hal. Tanpa harus berseragam dengan pin Korpri disalah satu bagian dadanya, atau bahkan tanpa menerima gaji sekalipun. Saya hanya merasa memiliki tanggung jawab untuk meluruskan defenisi guru bagi banyak benak di negeri ini.
Karena racun status sosial dengan segala macam bentuk stratifikasi kelasnya telah meng-abu-abukan makna guru bagi banyak murid di Indonesia. Dalam puluhan dasawarsa terakhir, orang di negeri ini—pabila mendengar kata guru, akan membayangkan sosok berseragam dengan penuh wibawa keformalannya. Atau bila perlu ditambah imej kacamata minus menggantung dibatang hidungnya plus jidat yang sedikit licin dan lebar, dan tentunya mendapat tunjangan di setiap awal bulan.
Mungkin tak ada salahnya gambaran seperti itu. Toh kita sudah teramat lazim mengenal orang-orang yang berprofesi sebagai pengajar di sekolah dengan sebutan guru. Di beberapa daerah—tertutama didaerah terpencil, seorang guru yang mengajar di sekolah, teramat dihormati. Bahkan nyaris seperti pemuka agama bagi penduduk setempat. Didengar pendapatnya dalam rapat desa, sekalipun masalah tokoh elit di desa tersebut hanya membicarakan tentang siapa Calon Bupati yang akan didukung warga pada pemilukada 2010. Sebuah wacana pelik yang tidak punya korelasi lansung dengan pekerjaannya sehari-hari.
Sayangnya kita lupa pada makna kalimat setiap orang bisa menjadi guru, bahkan tanpa dipandang sebagai guru sekalipun. Faktanya di zaman dahulu, orang yang mengajari silat disebut sebagai guru silat atau Suhu atau Simpai pada Kempo, orang yang mengajarkan saya isi Al Qur’an, disebut guru ngaji—orang dikampung menyebutnya ustad. Memang siapapun yang memberi sesuatu terkait pencerahan dan peningkatan pemahaman kita, kiranya sangatlah layak disebut sebagai guru.
Kalau mau jujur, para guru punya peran tersendiri dalam eksistensi peradaban manusia, peran yang tak bisa dinodai hanya karena Ia nyambi jual diktat atau jadi pemulung sekalipun. Mereka tetap menjadi orang di garis depan yang menanggung segala input dan output pemahaman kita kelak dikemudian hari dihadapan sang Khalik.
Hanya saja, pengabdian saat dibakukan dalam bentuk profesi kerap punya konsekwensi sendiri. Konsekwensi dimana orang mulai melupakan kenikmatan mengabdi. Atau lupa pada rasa bangga terhadap keberhasilan muridnya memegang prinsip hakiki menjalani hidup.
Sosok guru seperti itu, mungkin kini hanya haru biru terdengar lewat film dan buku fenomenal Laskar Pelangi—yang membuat kita bangga pada fakta bahwasannya guru semacam itu memang masih ada di Indonesia, meski satu-dua saja.
Saya pernah menonton cuplikan film dokumenter kehidupan guru di pedalaman Kalbar yang dibuat komunitas film independen di bumi kapuas ini. Film itu bercerita tentang gigihnya seorang guru bertahan di sebuah sekolah menyedihkan disudut beranda negara kita, Entikong. Hanya Ia yang tertinggal dan betah di situ dengan segala penderitaannya. Nyaris tak menikmati kebanggaan berseragam karena komite pengawas sekolah mungkin hanya berkunjung sekali setahun, digeluti sakit asam urat akut, dan membagi tubuh serta pikiran untuk mengajar enam kelas sekaligus. Semakin miris kita melihatnya, saat guru dimaksud adalah seorang perempuan kurus, dengan wajah letih, dan sorot mata yang mengatakan bahwa ia adalah ibu dari puluhan muridnya. Dengan tutur kata seakan ialah yang paling bertanggaung jawab terhadap kemajuan anak-anak di kampung itu. Ia tidak berkeluh apa-apa saat diwawancarai, selain permintaan sederhana, bahwa Ia dan puluhan muridnya perlu lapangan upacara dan tiang bendera.
Bukankah Ia kini menjelma menjadi sosok langka guru di negeri ini? Karena sepanjang saya menyaksikan dokumenter yang mengiris hati tersebut, tak saya dengar Ia menuntut kenaikan gaji, meskipun hampir dipastikan Ia perlu itu. Saat ditanya, mengapa Ia tak meninggalkan sekolah itu seperti rekan-rekan sejawatnya yang pernah tugas di sana yang tak tahan hingga akhirnya hengkang. Seraya menangis ia melontarkan jawaban, bahwa Ia menyayangi murid-muridnya dan kalimat betapa Ia takut kalau anak-anak kecil di kampung tersebut harus menjadi peladang berpindah yang bahkan tak bisa membaca.
Bukankah pengabdian semacam itu seakan cerita dari antah berantah Uthopis? Sayangnya guru tersebut memang ada, sekolah reot 3 lokal untuk enam kelas itu memang eksis, kondisi itu memang terjadi dinegeri yang sepertinya masih masuk kategori negara dunia ketiga ini.
Sang guru tersebut ternyata tak pernah protes seraya membawa spanduk atau pamflet berisi tuntutan kenaikan tunjangan. Kalau rekan-rekan komunitas film independent tersebut tak menemukannya tanpa sengaja mungkin saya dan jutaan orang yang pernah menonton film itu tak akan tau bahwa lagenda hidup itu masih ada sampai kini di Indonesia. Kebetulan itu menunjukan bahwa, Tuhan membeberkan fakta dengan cara yang ajaib.
Suara lirih, pedih dan letihnya sempat didengar sampai Jakarta, karena film itu sempat masuk nominasi unggulan pada salah satu kompetisi film dokumenter beberapa waktu lalu. Bisa jadi dulu SBY-JK dan Sekarang SBY-Boediono, atau Mendiknas pun tahu dan menontonnya. Tapi memang mendengar dan melihat kadang tak berkolerasi lansung dengan kepedulian. Toh sosok guru itu masih berdiri dengan terseok-seok di sekolah butut dekat beranda negara sekaya Indonesia itu.
Karena Ia hanya minta lapangan dan tiang bendera baru untuk upacara, seorang teman saya yang kebetulan kini menjadi guru di Negeri Jiran bahkan sempat menuding guru tersebut seorang nasionalis Absurd. Mungkin wajar, karena di negara tempatnya mengabdi saat ini sudah tak ada guru yang bernasib setragis itu.
Mungkin tak hanya di Belitong atau Entikong saja yang memiliki super hero yang menjelma menjadi guru. Di daerah lain, terutama yang terpencil bisa jadi mahluk langka semacam mereka masih ada dan betah tanpa keluh kesah. Suara mereka kerap tak didengar karena kalah gaung dengan demo guru honorer yang minta diangkat. Atau tenggelam dengan pekikan tuntutan guru yang minta kenakan gaji. Tak salah memang kalau Guru berdemo, mereka juga memiliki hak untuk itu. Sehingga kita tahu suara mereka salama ini kerap masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan pemerintah. “Pemerintah kite udah tupal *),” ujar seorang teman dengan sengit. Bisa jadi teman saya salah, namun tentunya tak seluruhnya. Setidaknya komentar itu adalah manifestasi koreksi ke alpaan pemerintah dalam memperhatikan nasib guru.
Kembali pada asumsi fisik formal guru. Saya agak tak sepakat dengan gambaran umum kita tentang guru itu seperti apa. Karena kerap saya dapatkan bahwa orang-orang tak berseragam guru memberi sebuah pencerahan hakiki buat saya. Sayangnya saya akan tetap ngotot menyebut mereka guru saya sesungguhnya.
Saat SMP, saya menemukan kenyataan bahwa orang yang bukan gurupun bisa memberi pencerahan kepada kita dengan cara dan kata-kata yang terdengar sakti. Waktu itu saya termasuk sedikit siswa yang mau berbetah-betah datang kesekolah pada sore Jum’at untuk ikut Pramuka. Bukan guru kami yang membimbing dikesempatan rutin mingguan itu. Tetapi seorang pria yang lebih mirip tampangnya seperti partikelir kerah biru ketimbang seorang tenaga pengajar. Namanya Rusmayudi, kami menambahkan kata Kakak di depan Namanya, seperti lazimnya anak Pramuka. Ia juga biasa dipanggil dengan sebutan Boyod, sebuah akronim Yudi di ujung namanya, diberikan oleh siswa dan guru yang tak suka Pramuka. Bahkan dengan sinisnya para anti Pramuka menuding kami sebagai anak buah Boyod. Tapi si Boyod ini tak pernah marah atau berkeluh dengan minimnya dukungan pihak sekolah dan mayoritas siswa yang tak hobby bahkan kerap mencemooh kami. Tetap saja prestasi pramuka sekolah kami gemilang ditangannya. Lebih banyak memboyong juara pertama dan piala ketimbang ekskul olah raga yang terlihat lebih keren saat itu.
Buat minoritas anggota pramuka di SMP itu, si Boyod ini adalah guru bagi kami semua. Karena Ia dikenal paling pandai berlaku adil bagi semua anak Pramuka. Kepandaiannya berlaku adil menjadi sesuatu yang berharga karena tak pernah Ia menanyakan dan memperlakukan orang berdasarkan apa pekerjaan orang tuanya. Kalau salah, anak kontraktor atau pejabat sekalian akan Ia marahi. Tak seperti beberpa oknum guru sekolah kami yang kerap menceritakan ayah murid si A seorang pejabat berjasa, ayah murid si B seorang pengusaha sukses. Sementara tak kunjung menceritakan betapa Ibu si C yang tukang sapu juga punya peran penting.
Kata-kata membekas di benak saya dari pembina Pramuka itu adalah kalimat pencerahan; “Yang kamu pelajari hari ini, belum tentu berguna besok atau lusa, bisa jadi 10 atau 20 tahun dari sekarang.” ujarnya dengan meyakinkan. Kalimat itu buat saya ber-bisa, meski belum merasa sukses oleh Ilmu, saya meyakini kebenaran yang terkandung di dalamnya. Mungkin pembina saya itu juga tidak membuat kalimat itu sendiri, bisa jadi Ia mengutip pepatah bijak. Namun yang dasyat adalah, saya tak pernah di beri kata-kata se-sakti itu oleh guru-guru saya yang berseragam, bahkan sampai saya kuliah. Sampai saat ini saya masih menyimpan pesan saktinya itu dalam benak, dengan keyakinan bahwa Ia salah satu guru pencerahan saya.
Guru dalam hidup ini juga pernah saya temukan lewat sosok penjual Petai di pasar cina kota kami. Pria itu katanya asal sambas. Ia menjadi guru saya karena pernah menunggu dua hari hanya untuk mengembalikan uang lima ribu rupiah, sebagai kembalian ongkos belanja saya yang salah Ia hitung. Saat saya tanya kenapa harus menunggu saya datang lagi kepasar itu, Ia memandang dengan penuh selidik seraya bertanya, “Abang ni Muslimkah?,” saya mengiyakan pertanyaannya, lantas Ia menyambung; “Kita umat Islam dianjurkan Nabi untuk berdagang dengan adil, niscaya selamatlah kita dalam berdagang,” ujarnya serius, seraya menggaruk punggungnya dengan sisa tangkai Petai sambas. Ah, satu lagi pelajaran berharga yang saya dapat dari orang yang tak terduga. Sayangnya sampai hari ini saya tak pernah tahu siapa nama Pak tua itu.
Pengalaman itu menguatkan asumsi saya bahwa semua orang bisa menjadi guru bagi yang lainnya. Dan setelah ini saya pun ingin menjadi seorang guru, terlepas dari profesi saya kini seorang pekerja sosial..

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates